KITA bangga dengan kemajuan ekonomi yang diraih.
Pemerintah menjadikan peningkatan rating utang negara yang diberikan
lembaga pemeringkat internasional sebagai sebuah keberhasilan.
Pemerintah menggunakan hal itu sebagai jawaban terhadap kritikan bahwa
negara ini berjalan dengan autopilot.
Dalam politik, klaim-klaim
keberhasilan seperti itu merupakan sesuatu yang biasa. Hanya saja pada
akhirnya semua itu tetap harus bertumpu pada realitas. Klaim
keberhasilan akan mudah dipatahkan ketika di lapangan didapatkan sesuatu
yang berbeda dengan klaim pemerintah itu.
Pemerintah seharusnya
merasa malu ketika pers Inggris memotret realitas yang mengenaskan.
Potret tentang anak-anak sekolah di Lebak, Banten, yang harus meniti
sebuah jembatan rusak ketika hendak berangkat sekolah.
Potret itu
menjadi dramatis karena anak-anak sekolah itu harus melewati jembatan
itu setiap hari, saat pergi dan pulang. Risiko yang harus dihadapi
anak-anak itu sangatlah besar karena salah-salah meniti pijakan, mereka
bisa terjun ke dalam sungai.
Ketika potret mengenaskan terpampang
di media internasional, kita tidak bisa berdalih bahwa itu hanya bagian
kecil dari Indonesia. Orang luar tidak tahu bahwa itu hanya potret di
Lebak. Mereka hanya tahu bahwa itu adalah potret Indonesia.
Persepsi
itu tentunya berdampak buruk terhadap citra Indonesia. Setidaknya
pemerintah dianggap tidak peduli terhadap warganya. Anak-anak sekolah
dasar dibiarkan berjuang dengan bahaya ketika hendak pergi ke sekolah.
Istilah
jembatan "Indiana Jones" yang dipakai pers Inggris menunjukkan bahwa
tindakan itu sangatlah berbahaya. Film yang dibintangi Harrison Ford
selalu menggambarkan sebuah pertualangan berbahaya dan tidak bisa
dilakukan oleh semua orang.
Kita melihat bagaimana Bupati Lebak
tidak sanggup untuk melintasi jembatan itu. Ia harus dibantu oleh ajudan
untuk bisa kembali setelah di pertengahan jalan dirinya tidak sanggup
untuk bisa menyeberangi jembatan.
Pertanyaannya, mengapa jembatan
yang vital seperti itu dibiarkan berlama-lama tanpa perbaikan.
Bagaimana sistem pengawasan fasilitas umum di Kabupaten Lebak sehingga
mereka tidak tahu sampai ada jembatan rusak dan baru paham ketika sudah
ramai menjadi pembicaraan di media massa.
Kasus-kasus seperti ini
seharusnya menjadi tema utama bahasan dalam rapat kerja antara Presiden
dengan para Gubernur, Bupati, dan Wali Kota pertengahan minggu lalu.
Presiden seharusnya mengingatkan seluruh aparat untuk mendahulukan
kepentingan masyarakat banyak.
Sekarang ini masyarakat merasa
bahwa para pejabat lebih mementingkan diri mereka daripada kepentingan
rakyatnya. Para pejabat begitu cepat berteriak ketika fasilitas mereka
dirasakan kurang dan kemudian segera dipenuhi.
Lihatlah apa yang
dilakukan untuk anggota DPR. Ketika toilet mereka dirasakan tidak
nyaman, segera toilet mereka diperbaiki dengan anggaran Rp 2 miliar.
Lebih fantastis lagi ketika Badan Anggaran DPR perlu ruang yang lebih
nyaman digelontorkanlah anggaran Rp20,3 miliar untuk menata ruang
berukuran 10 x 10 meter.
Masyarakat tidak membutuhkan biaya
sebesar itu. Jembatan gantung di Lebak seperti itu tidak membutuhkan
anggaran sampai Rp100 juta. Hanya karena tidak punya kepedulian, para
pejabat kita tidak terpanggil untuk segera memperbaikinya.
Pemerintah
selalu sensitif kalau dikatakan tidak peduli kepada rakyatnya.
Pemerintah begitu cepat dalam merespons kritikan yang ditujukan kepada
mereka, namun tidak cepat dalam melakukan tindakan.
Kalau memang
pemerintah tidak ingin dikatakan tidak peduli pada rakyatnya, mereka
harus mau mengubah sikap dan perilaku mereka. Harus ada kemauan untuk
mengubah sikap feodal. Bahwa tugas utama pejabat pemerintah adalah
melayani rakyatnya, bukan minta dilayani.
Satu lagi perubahan
mental yang harus dilakukan adalah kebiasaan untuk menjadikan kekuasaan
sebagai hak istimewa. Ketika power dianggap sebagai sebuah privilege,
maka para pejabat hanya akan memikirkan kepentingan mereka bukan
kepentingan rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar