Sabtu, 21 Januari 2012

Anak Bangsa dan Jembatan Maut Indiana Jones

KITA bangga dengan kemajuan ekonomi yang diraih. Pemerintah menjadikan peningkatan rating utang negara yang diberikan lembaga pemeringkat internasional sebagai sebuah keberhasilan. Pemerintah menggunakan hal itu sebagai jawaban terhadap kritikan bahwa negara ini berjalan dengan autopilot.

Dalam politik, klaim-klaim keberhasilan seperti itu merupakan sesuatu yang biasa. Hanya saja pada akhirnya semua itu tetap harus bertumpu pada realitas. Klaim keberhasilan akan mudah dipatahkan ketika di lapangan didapatkan sesuatu yang berbeda dengan klaim pemerintah itu.

Pemerintah seharusnya merasa malu ketika pers Inggris memotret realitas yang mengenaskan. Potret tentang anak-anak sekolah di Lebak, Banten, yang harus meniti sebuah jembatan rusak ketika hendak berangkat sekolah.

Potret itu menjadi dramatis karena anak-anak sekolah itu harus melewati jembatan itu setiap hari, saat pergi dan pulang. Risiko yang harus dihadapi anak-anak itu sangatlah besar karena salah-salah meniti pijakan, mereka bisa terjun ke dalam sungai.

Ketika potret mengenaskan terpampang di media internasional, kita tidak bisa berdalih bahwa itu hanya bagian kecil dari Indonesia. Orang luar tidak tahu bahwa itu hanya potret di Lebak. Mereka hanya tahu bahwa itu adalah potret Indonesia.

Persepsi itu tentunya berdampak buruk terhadap citra Indonesia. Setidaknya pemerintah dianggap tidak peduli terhadap warganya. Anak-anak sekolah dasar dibiarkan berjuang dengan bahaya ketika hendak pergi ke sekolah.

Istilah jembatan "Indiana Jones" yang dipakai pers Inggris menunjukkan bahwa tindakan itu sangatlah berbahaya. Film yang dibintangi Harrison Ford selalu menggambarkan sebuah pertualangan berbahaya dan tidak bisa dilakukan oleh semua orang.

Kita melihat bagaimana Bupati Lebak tidak sanggup untuk melintasi jembatan itu. Ia harus dibantu oleh ajudan untuk bisa kembali setelah di pertengahan jalan dirinya tidak sanggup untuk bisa menyeberangi jembatan.

Pertanyaannya, mengapa jembatan yang vital seperti itu dibiarkan berlama-lama tanpa perbaikan. Bagaimana sistem pengawasan fasilitas umum di Kabupaten Lebak sehingga mereka tidak tahu sampai ada jembatan rusak dan baru paham ketika sudah ramai menjadi pembicaraan di media massa.

Kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi tema utama bahasan dalam rapat kerja antara Presiden dengan para Gubernur, Bupati, dan Wali Kota pertengahan minggu lalu. Presiden seharusnya mengingatkan seluruh aparat untuk mendahulukan kepentingan masyarakat banyak.

Sekarang ini masyarakat merasa bahwa para pejabat lebih mementingkan diri mereka daripada kepentingan rakyatnya. Para pejabat begitu cepat berteriak ketika fasilitas mereka dirasakan kurang dan kemudian segera dipenuhi.

Lihatlah apa yang dilakukan untuk anggota DPR. Ketika toilet mereka dirasakan tidak nyaman, segera toilet mereka diperbaiki dengan anggaran Rp 2 miliar. Lebih fantastis lagi ketika Badan Anggaran DPR perlu ruang yang lebih nyaman digelontorkanlah anggaran Rp20,3 miliar untuk menata ruang berukuran 10 x 10 meter.

Masyarakat tidak membutuhkan biaya sebesar itu. Jembatan gantung di Lebak seperti itu tidak membutuhkan anggaran sampai Rp100 juta. Hanya karena tidak punya kepedulian, para pejabat kita tidak terpanggil untuk segera memperbaikinya.

Pemerintah selalu sensitif kalau dikatakan tidak peduli kepada rakyatnya. Pemerintah begitu cepat dalam merespons kritikan yang ditujukan kepada mereka, namun tidak cepat dalam melakukan tindakan.

Kalau memang pemerintah tidak ingin dikatakan tidak peduli pada rakyatnya, mereka harus mau mengubah sikap dan perilaku mereka. Harus ada kemauan untuk mengubah sikap feodal. Bahwa tugas utama pejabat pemerintah adalah melayani rakyatnya, bukan minta dilayani.

Satu lagi perubahan mental yang harus dilakukan adalah kebiasaan untuk menjadikan kekuasaan sebagai hak istimewa. Ketika power dianggap sebagai sebuah privilege, maka para pejabat hanya akan memikirkan kepentingan mereka bukan kepentingan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar